Assalamu’alikum wr wb
Halo, apa kabar?
Sehat kan? Okesip kalau gitu.
*Ini ciri khas
dari postingan saya yah, pasti nanya kabar. Padahal udah tahu kalau pada sehat wal afiat. Hehehe*
Kali ini saya
akan posting hal yang memang terinspirasi dari diri saya sendiri. Agak berat
sebenarnya untuk menurunkan tulisan ini *eciyeee, bahasa-nya sudah seperti
penulis kelas kakap, :)*. Tapi saya rasa, saya berhak untuk mengeluarkan
pendapat ini. Kan di UUD juga telah diatur, bahwa ‘setiap warga Negara berhak
mengeluarkan pendapat’. Etapi pasal berapa ya ini? Pasal 28 ya? Lupa #eh
Jadi sebenarnya
(mungkin) tulisan ini akan lebih banyak mengarah pada curhatan saya saja.
Sedikit berbagi tentang ‘perubahan’ seperti yang saya tulis di judul diatas. Hmm, tulisan serius ini muj? Enggak sih,
dibawa enjoy saja. Akan lebih natural
kalau kita bawa dengan se-mengalir-nya. Seperti aliran air di sungai nan bening
berkilauan terkena sinar mentari :) *halah*
Jadi begini.
Memang saya akui, mulai kemarin (atau kemarinnya lagi ya?), saya mulai
membatasi diri untuk tidak terlalu ‘heboh
aktif’ di twitter. Asal muasal-nya sih dari diri sendiri untuk begitu. Jadi
tidak ada tendensi apa-apa.
Masih ingat
dengan twit saya tentang, ‘ingat umur, masih banyak hal di luar sana
yang mesti dilakukan’? Nah ini adalah benang merahnya.
Aselinya,
twit-twit saya yang model begini, untuk diri saya sendiri lho. Tidak pernah
saya meng-tag atau me-mention untuk orang lain. Yah beda kalau
orang lain itu merasa sendiri. Tapi ciyus, twit itu untuk saya sendiri pribadi.
Dan biasanya sih, pas lagi bolong ngetwit beginian.
Pengalaman
pernah mencambuk saya terkait kebiasaan ngetwit yang ‘sembarangan’ di waktu dan
tempat yang tidak semetinya. Termasuk konten twit yang saya kicaukan.
Alkisah, saya
sering sekali ngetwit di luar kontrol. Dan parahnya di jam-jam produktif. Yah,
waktu itu saya berpikir, ‘enggak apa-apa kali ya, lagian kan
ini hape saya sendiri, pake pulsa saya sendiri bla bal bla’. Dan alasan-alasan
lain yang bercengkerama di otak saya. Saking parahnya, hingga kadang pekerjaan
yang semestinya selesai, jadi sedikit terbelangkalai. Tapi perlu dicatat ya,
saya enggak menyalahkan media sosial berlambang burung ini. Trus siapa yang salah muj? Saya! Ya,
saya sendiri yang salah. Tidak bisa mengelola waktu dengan baik. Dan hal yang
membuat saya kalang kabut adalah ketika ada pekerjaan yang sampai ditanyakan
oleh atasan / rekanan. Sumpah, malunya gak ketulungan. Nah, ini dasar pertama.
Setelah lama saya
merenung dan memikirkan, ternyata memang saya harus melakukan perubahan. Ya! Sebuah
perubahan yang bisa membuat saya lebih baik. Perubahan yang membuat saya tidak
terlalu addict to tweet. Sempat saya
berpikir untuk menutup akun itu.
Lha trus kenapa gak dilakukan muj? Ya,
setelah dipertimbangkan, ada rasa sayang kalau harus menutup akun itu. Untuk
mendapatkan 190 followers itu sulit
sekali. Harus banting tulang dan memeras keringat *halah!*. sehingga akhirnya,
saya putuskan untuk tetap ngetwit tapi dengan ‘catatan’.
Alhasil,
beberapa hari setelah pemikiran tersebut diatas mengangga di sanubari,
muncullah beberapa twit tentang hal-hal berbau Islami, yang ditwitkan oleh
sahabat saya. Dari situ muncullah di benak saya, ‘untuk melengkapi perubahan
yang akan saya lakukan, kenapa enggak sekalian perbaiki diri secara keagamaan?’.
Jujur saya katakan, saya juga manusia biasa yang tak luput dari dosa dan
khilaf.
Dari sinilah,
saya belajar untuk menjadi lebih baik. Saya awali dengan mem-follow beberapa akun konten Islami atas
saran sahabat saya itu. Dan, Alhamdulillah kok asyik juga ya. Ada
rasa berbeda ketika membaca twit-twit menyejukkan dari akun Islami tersebut.
Walaupun disisi lain ada perih yang teramat sangat, karena mengingat hal-hal
yang bertentangan. Hmmm, sungguh ironis memang. Sebagai orang yang belum benar-benar
bisa mengamalkan syariah.
Nah, dari
sinilah saya mulai melakukan penjajakan diri. Mampukah saya? Bisakah saya
menjadi lebih calm? Lebih wise? Tidak liar, vulgar, dan frontal
dalam ngetwit? Dan bisakah saya mengaplikasikannya ke dalam sendi-sendi
kehidupan saya sekarang dan untuk selanjutnya?
Tidak lama
kemudian, saya mulai ngetwit dengan bahasa-bahasa yang lebih sopan (dan
formal). Dan sesekali meRetwit twit akun Islami., yang biasanya berisi Hadist
Nabi. Mengapa? Ya karena ingin mengurangi dampak efek becanda yang kelewat
batas. Selama ini saya merasa dalam ngetwit suka ngawur. Dan entah sengaja atau
tidak, (mungkin) itu menyinggung perasaan orang lain. Ya, sebenarnya gak tau
sih, tapi hanya merasa saja seperti itu.
Tapi apa bercanda itu gak boleh muj? Ya boleh-boleh
saja. Siapa yang melarang bercanda. Cuma mungkin dalam hal kuantitas ya harus
dibatasi. Masak iya, sepanjang hidup hanya diisi bercanda terus. Kemudian saya
juga beberapa twit menyenggol masalah ghibah. Check by check, saya browsing
dan browsing, ternyata memang ghibah
itu bagian dari yang dilarang. Entah ghibah yang benar ataupun salah. Saya sendiri
sih belum ngerti benar apa itu ghibah. Tapi secara umum, menurut pemahaman
saya, ghibah itu membicarakan orang. Mungkin bisa dicheck disini. Atau disini.
Meskipun demikian,
ada beberapa macam ghibah yang diperbolehkan. Lho? Iya, coba buka link ini.
Etapi kan konteks-nya hanya becanda. Gak boleh juga?
Saya sendiri sih kurang tahu ya. Coba ditanyakan di ustad/ustadzah
masing-masing. Yang jelas, kalau menurut saya, bercanda sih boleh saja. Seperti
yang saya tuliskan diatas. Tapi ya itu tadi, ditanyakan saja ke pribadi
masing-masing.
Perubahan yang
saya lakukan ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Memang dalam
kesehariannya, saya belum maksimal dalam menjalankannya. Tapi di akun twitter,
saya sudah memulainya. Berusaha untuk tidak ngetwit tentang ‘membicarakan’
orang dan menjawab mention dengan
bahasa yang baik dan sopan. Walupun tidak se-EYD ya. Jangan dibayangkan begitu.
Nanti ada yang tanya, ‘itu twit apa pidato?’ Kan
gak lucu juga kalau begitu, :).
Yah walaupun
sulit sih. Tapi yang penting telah berusaha. Mungkin sesekali boleh ya, dengan
catatan membicarakan prestasi atau keunggulan orang. Dengan niat, agar menjadi
inspirasi buat saya. Dan saya merasa proses ini cukup menyenangkan. Menjadi pribadi
yang lebih bijak. Dan (mungkin) menginspirasi. Ya kali aja gitu.
Dan disinilah
terjadi kesalahpahaman dan terjadi perbedaan persepsi. Apa yang saya twit-kan,
diartikan berbeda dengan apa yang saya maksudkan. Apalagi ketika saya ngetwit
tentang ‘ajakan untuk menjalankan ibadah’ misalnya. Apa tidak boleh, sesama muslim
mengingatkan untuk menjalanan ibadah? Bukankah kewajiban sesama muslim untuk
saling mengingatkan? Siapa tahu ada yang belum mengerjakan.
Tapi ya diambil
sisi positif-nya saja sih. Mungkin twit-twit seperti itu bukan ditujukan kepada
saya. Ya memang bukan. Karena tidak ada mention
ke saya. Gimana sih kamu muj? GR amat sih? Oiya ding, hehehe. Maaf ya,
mungkin terlalu excited saya dalam
menjalankan proses ‘perubahan’ ini. Tapi semua kembali ke pemahaman
masing-masing pribadi. Saling menghargai dan menghormati satu sama lain akan
jauh lebih menyenangkan dan menentramkan. Dan setiap pribadi berhak menentukan
jalannya masing-masing, Life is A Choice.
Dan secara
pribadi sih sebenarnya tidak tersinggung sama sekali dengan twit-twit yang
seolah-olah mem-parodi-kan proses saya ini. Bahkan, kadang saya malah tersenyum
melihat dan membacanya. Walaupun juga belum tentu, twit tersebut ditujukan ke
saya. Tapi saya malah senang, entah sadar atau tidak, sedikitnya telah membuat
orang lain berpikir tentang apa yang saya lakukan itu. Nah masalah mau
mengikuti langkah saya atau malah mencibir saya, itu urusan masing-masing. Ya monggo
saja. Apapun yang terjadi, saya tetap akan berusaha untuk menjadi pribadi yang
lebih baik, baik dalam perkataan (termasuk ngetwit), tingkah laku dan perbuatan.
Semoga Alloh selalu memberi hidayah pada kita untuk selalu berbuat ‘lebih’ baik
lagi, di segala bidang. Amin.
Terakhir, saya
simpulkan ya. Hmmm, anggap saja ini tulisan ilmiah, jadi perlu kesimpulan :) : Bahwa saya tetap akan ngetwit, walaupun tak sebanyak yang dulu. Tentu dengan
bahasa yang sopan. Dan sebisa mungkin tidak ghibah (membicarakan orang),
kecuali ghibah yang baik. #eh :). Sesekali #loh?. Ya gitu deh.
Jadi sekalian
minta maaf saja bagi yang tidak berkenan ya. Sebenarnya inilah maksud saya,
bukan mau riya atau sombong. Hadist Nabi mengatakan, sombong adalah bagian dari
hal yang menutup hati. Dan sesungguhnya, hati yang tetutup akan sulit menenrima
kebenaran. Jadi, mari kita instropeksi diri masing-masing. Ini ajakan ya, bukan
‘menyombongkan’.
Sekali lagi,
hidup itu pilihan. Dan hanya diri kita sendirilah yang bisa menentukan. Untuk
kita, oleh kita. Dan sebagai bahan perenungan, silakan klik ini ya. dan ini juga ya
sebagai bonus, mari kita dendangkan satu lagu penyemangat ini :
Semoga bermanfaat.
#WithLove
Jazakumulloh khoiran
katsiro.
Wassalamu’alaikum
wr wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar